lensabumi.com – Negeri Zamrud yang Dijual per Kilo Bayangkan Anda punya berlian sebesar kepalan tangan, tapi Anda menjualnya ke tetangga seharga batu kali. Lalu, tetangga itu mengolahnya menjadi kalung mewah dan menjualnya kembali ke Anda dengan harga 1000 kali lipat. Welcome to Indonesia! Negeri yang dianugerahi kekayaan alam melimpah ini masih setia pada peran lamanya: eksportir bahan mentah kelas kakap, sambil memborong produk jadi dari negara lain dengan bangga. Data Kementerian Perdagangan (2023) menunjukkan, 65% ekspor Indonesia masih didominasi komoditas mentah—dari nikel, batu bara, hingga minyak sawit. Sementara nilai impor produk manufaktur (seperti elektronik, mesin, dan bahan kimia) terus meroket, mencapai US$177 miliar pada 2022.
Tapi jangan khawatir, kita tidak sendirian dalam “kebodohan kolektif” ini. Negara-negara mitra dagang kita dengan senang hati memainkan peran mereka: ada yang jadi pembeli setia, ada yang jadi penjual licik, dan ada yang jadi penonton yang sambil senyum-senyum hitung untung. Mari kita telusuri bagaimana mereka melihat “kenaifan” Indonesia—dan bagaimana kita bisa berhenti jadi bahan tertawaan di panggung global.
1. China: Si Pembeli yang “Baik Hati”, Tapi…
China—sahabat karib yang selalu siap menampung batubara dan nikel mentah kita—seperti pedagang pasar yang ramah, tetapi diam-diam menyimpan kalkulator di balik senyumnya. Di Morowali, mereka membangun smelter nikel terbesar di dunia, tapi teknologi pengolahan baterai litium tetap dirahasiakan seperti resep mi ayam. Hasilnya? Indonesia hanya mendapat 5% dari nilai tambah rantai baterai global, sementara China menguasai 77% pasar baterai EV dunia (data Benchmark Mineral Intelligence, 2023).
Satirnya: Indonesia pemilik tambang, China arsitek yang membangun rumah megah di atas tanah kita—dan kita cuma melongok dari luar pagar.
2. Jepang & Korea Selatan: Mitra dengan “Tangan Terkunci”
Jepang dan Korea Selatan paham betul seni memberi tapi tak memberi. Mereka berinvestasi di pabrik baterai EV, tapi mesin pencampur bahan kimia kunci tetap diimpor dari Osaka dan Seoul. Toyota dan Hyundai gencar bangun pabrik di Karawang, tapi desain mesin hybrid masih top secret—seperti resep kimchi yang tak boleh bocor. Menurut LIPI, hanya 12% tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia yang memiliki keahlian teknis tinggi. Alhasil, kita jadi buruh murah di pabrik sendiri.
Satirnya: Indonesia seperti murid yang diberi kalkulator, tapi tak diajari rumus matematika.
3. Singapura: Si Bos Kecil yang Jadi Makelar Global
Singapura—negara selikutapel—adalah mastermind di balik layar. Mereka tak punya tambang, tapi menguasai 30% perdagangan batubara Asia via pelabuhan mereka. Data UN Comtrade (2023) mencatat, 40% ekspor minyak sawit Indonesia dilewatkan dulu ke Singapura, baru dijual ke Eropa dengan harga lebih tinggi. Singapura ibarat calo tanah yang mengambil untung dari ketidaktahuan pemilik.
Satirnya: Indonesia adalah petani yang panen padi, Singapura adalah tengkulak yang menjual berasnya dengan kemasan premium.
4. AS & Eropa: Polisi Lingkungan yang Hipokrit
AS dan Europa gemar menggembar-gemborkan net-zero emission, tapi diam-diam tetap borong batubara Indonesia. Pada 2022, ekspor batubara Indonesia ke AS naik 15%, meski mereka mencap kita sebagai perusak hutan. Sementara Uni Eropa melarang sawit non-sertifikasi, tetapi impor minyak kelapa sawit mereka justru naik 20% sejak 2020 (data Eurostat).
Satirnya: AS dan Eropa seperti pelaku diet yang marah-marah ke tukang bakso, tapi diam-diam beli 10 porsi tengah malam.
5. Australia: Sahabat yang Suka Menusuk dari Belakang
Australia adalah tetangga yang baik—sampai kita bicara batubara. Mereka bersaing ketat dengan Indonesia di pasar Asia, sambil berkoar-koar tentang green energy. Tapi data ICIS (2023) menunjukkan, ekspor batubara Australia ke China justru naik 18% sepanjang 2022. Sementara proyek PLTS mereka di NTT hanya sebesar 5 MW—sekadar pemanis bibir.
Satirnya: Australia seperti teman kantor yang mengajak Anda diet, tapi diam-diam makan siang di restoran fast food.
6. Negara Amerika Latin & Afrika: Antara Teman dan Musuh
Brasil dan Kongo mungkin iri dengan cadangan nikel Indonesia, tapi mereka juga tak mau kalah jadi toko kelontong global. Brasil, misalnya, mengekspor 80% bijih besi dalam bentuk mentah—mirip Indonesia. Tapi bedanya, mereka mulai membatasi ekspor dan menarik investasi hilirisasi. Sementara Indonesia masih sibuk berdebat soal UU Cipta Kerja.
Satirnya: Kita seperti peserta lomba lari yang saling dorong, tapi lupa bahwa hadiahnya cuma untuk penonton.
Strategi Keluar dari Zona Nyaman: Stop Jadi “Tukang Sayur” Global
1. Lakukan “Pemerasan Teknologi”:
o Contoh: Turki mewajibkan perusahaan asing membangun pabrik R&D jika ingin mengeksplorasi lithium. Indonesia bisa meniru—jika tak ada transfer teknologi, tak ada izin ekspor.
2. Buat “Pakta Solidaritas Selatan”:
o Gabung dengan Brasil, India, dan Afrika Selatan untuk menuntut harga komoditas adil di WTO. Jangan biarkan negara maju jadi hakim sekaligus pemain.
3. Ubah Diplomasi dari “Minta-minta” jadi “Tawar-menawar”:
o Jika Eropa ingin sawit bersertifikat, minta mereka jual teknologi daur ulang limbah sawit.
Epilog: Dari Negeri Pengeluh jadi Negeri Pencipta
Indonesia ibarat pemilik warung makan yang hanya jual bahan mentah, lalu heran mengapa pelanggan lebih suka restoran sebelah. Negara-negara mitra kita tak akan berubah—mereka hanya akan berhenti memanfaatkan kita jika kita berhenti jadi lahan empuk.
Pertanyaannya: Maukah kita berhenti jadi tukang tambang dan mulai jadi arsitek peradaban? Atau tetap bangga disebut “negeri kaya raya” sambil gigit jari lihat negara lain mengolah kekayaan kita?
“Orang bijak tak menjual berlian mentah. Mereka memahatnya jadi mahakarya.” — Tapi kita? Masih sibuk hitung tonase.