Indonesia: “Toko Kelontong” Global yang Masih Berkutat di Zona Nyaman, Alarm untuk yang Masih Tertidur

- Reporter

Kamis, 29 Mei 2025 - 17:13 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

lensabumi.com – Negeri Zamrud yang Dijual per Kilo Bayangkan Anda punya berlian sebesar kepalan tangan, tapi Anda menjualnya ke tetangga seharga batu kali. Lalu, tetangga itu mengolahnya menjadi kalung mewah dan menjualnya kembali ke Anda dengan harga 1000 kali lipat. Welcome to Indonesia! Negeri yang dianugerahi kekayaan alam melimpah ini masih setia pada peran lamanya: eksportir bahan mentah kelas kakap, sambil memborong produk jadi dari negara lain dengan bangga. Data Kementerian Perdagangan (2023) menunjukkan, 65% ekspor Indonesia masih didominasi komoditas mentah—dari nikel, batu bara, hingga minyak sawit. Sementara nilai impor produk manufaktur (seperti elektronik, mesin, dan bahan kimia) terus meroket, mencapai US$177 miliar pada 2022.
Tapi jangan khawatir, kita tidak sendirian dalam “kebodohan kolektif” ini. Negara-negara mitra dagang kita dengan senang hati memainkan peran mereka: ada yang jadi pembeli setia, ada yang jadi penjual licik, dan ada yang jadi penonton yang sambil senyum-senyum hitung untung. Mari kita telusuri bagaimana mereka melihat “kenaifan” Indonesia—dan bagaimana kita bisa berhenti jadi bahan tertawaan di panggung global.

1. China: Si Pembeli yang “Baik Hati”, Tapi…

China—sahabat karib yang selalu siap menampung batubara dan nikel mentah kita—seperti pedagang pasar yang ramah, tetapi diam-diam menyimpan kalkulator di balik senyumnya. Di Morowali, mereka membangun smelter nikel terbesar di dunia, tapi teknologi pengolahan baterai litium tetap dirahasiakan seperti resep mi ayam. Hasilnya? Indonesia hanya mendapat 5% dari nilai tambah rantai baterai global, sementara China menguasai 77% pasar baterai EV dunia (data Benchmark Mineral Intelligence, 2023).
Satirnya: Indonesia pemilik tambang, China arsitek yang membangun rumah megah di atas tanah kita—dan kita cuma melongok dari luar pagar.

2. Jepang & Korea Selatan: Mitra dengan “Tangan Terkunci”

Jepang dan Korea Selatan paham betul seni memberi tapi tak memberi. Mereka berinvestasi di pabrik baterai EV, tapi mesin pencampur bahan kimia kunci tetap diimpor dari Osaka dan Seoul. Toyota dan Hyundai gencar bangun pabrik di Karawang, tapi desain mesin hybrid masih top secret—seperti resep kimchi yang tak boleh bocor. Menurut LIPI, hanya 12% tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia yang memiliki keahlian teknis tinggi. Alhasil, kita jadi buruh murah di pabrik sendiri.
Satirnya: Indonesia seperti murid yang diberi kalkulator, tapi tak diajari rumus matematika.

Baca Juga :  Jadi Irup Di SMA Negeri 4 Kota Tegal, Ini Pesan Kasat Lantas Polres Tegal Kota

3. Singapura: Si Bos Kecil yang Jadi Makelar Global

Singapura—negara selikutapel—adalah mastermind di balik layar. Mereka tak punya tambang, tapi menguasai 30% perdagangan batubara Asia via pelabuhan mereka. Data UN Comtrade (2023) mencatat, 40% ekspor minyak sawit Indonesia dilewatkan dulu ke Singapura, baru dijual ke Eropa dengan harga lebih tinggi. Singapura ibarat calo tanah yang mengambil untung dari ketidaktahuan pemilik.
Satirnya: Indonesia adalah petani yang panen padi, Singapura adalah tengkulak yang menjual berasnya dengan kemasan premium.

4. AS & Eropa: Polisi Lingkungan yang Hipokrit

AS dan Europa gemar menggembar-gemborkan net-zero emission, tapi diam-diam tetap borong batubara Indonesia. Pada 2022, ekspor batubara Indonesia ke AS naik 15%, meski mereka mencap kita sebagai perusak hutan. Sementara Uni Eropa melarang sawit non-sertifikasi, tetapi impor minyak kelapa sawit mereka justru naik 20% sejak 2020 (data Eurostat).
Satirnya: AS dan Eropa seperti pelaku diet yang marah-marah ke tukang bakso, tapi diam-diam beli 10 porsi tengah malam.

5. Australia: Sahabat yang Suka Menusuk dari Belakang

Australia adalah tetangga yang baik—sampai kita bicara batubara. Mereka bersaing ketat dengan Indonesia di pasar Asia, sambil berkoar-koar tentang green energy. Tapi data ICIS (2023) menunjukkan, ekspor batubara Australia ke China justru naik 18% sepanjang 2022. Sementara proyek PLTS mereka di NTT hanya sebesar 5 MW—sekadar pemanis bibir.
Satirnya: Australia seperti teman kantor yang mengajak Anda diet, tapi diam-diam makan siang di restoran fast food.

Baca Juga :  Sholat Idul Fitri 1446 H di Alun-Alun Banjarnegara di Hadiri Ribuan Jamaah

6. Negara Amerika Latin & Afrika: Antara Teman dan Musuh
Brasil dan Kongo mungkin iri dengan cadangan nikel Indonesia, tapi mereka juga tak mau kalah jadi toko kelontong global. Brasil, misalnya, mengekspor 80% bijih besi dalam bentuk mentah—mirip Indonesia. Tapi bedanya, mereka mulai membatasi ekspor dan menarik investasi hilirisasi. Sementara Indonesia masih sibuk berdebat soal UU Cipta Kerja.
Satirnya: Kita seperti peserta lomba lari yang saling dorong, tapi lupa bahwa hadiahnya cuma untuk penonton.

Strategi Keluar dari Zona Nyaman: Stop Jadi “Tukang Sayur” Global

1. Lakukan “Pemerasan Teknologi”:
o Contoh: Turki mewajibkan perusahaan asing membangun pabrik R&D jika ingin mengeksplorasi lithium. Indonesia bisa meniru—jika tak ada transfer teknologi, tak ada izin ekspor.

2. Buat “Pakta Solidaritas Selatan”:
o Gabung dengan Brasil, India, dan Afrika Selatan untuk menuntut harga komoditas adil di WTO. Jangan biarkan negara maju jadi hakim sekaligus pemain.

3. Ubah Diplomasi dari “Minta-minta” jadi “Tawar-menawar”:
o Jika Eropa ingin sawit bersertifikat, minta mereka jual teknologi daur ulang limbah sawit.

Epilog: Dari Negeri Pengeluh jadi Negeri Pencipta

Indonesia ibarat pemilik warung makan yang hanya jual bahan mentah, lalu heran mengapa pelanggan lebih suka restoran sebelah. Negara-negara mitra kita tak akan berubah—mereka hanya akan berhenti memanfaatkan kita jika kita berhenti jadi lahan empuk.

Pertanyaannya: Maukah kita berhenti jadi tukang tambang dan mulai jadi arsitek peradaban? Atau tetap bangga disebut “negeri kaya raya” sambil gigit jari lihat negara lain mengolah kekayaan kita?
“Orang bijak tak menjual berlian mentah. Mereka memahatnya jadi mahakarya.” — Tapi kita? Masih sibuk hitung tonase.

Berita Terkait

REI Jatim Keluhkan Program 3 Juta Rumah ke DPD RI: Narasi Rumah Gratis hingga Masalah Lahan Jadi Sorotan
DPU Brebes Sukses Tuntaskan 15,139 Km Perbaikan Jalan Program 100 Hari Bupati Paramitha
Banjir Genangi Puluhan Sekolah di Brebes Ribuan Siswa Terpaksa Belajar Secara Daring
Dua Jalan, Sama-Sama Rusak: Dilema Warga dan Pekerja PT. STJ di Desa Kubangsari Brebes
Masyarakat Bitung Jaya Buat Petisi Menolak Ditiadakannya Pemilihan Ketua RW Di Dusun 01
25 Juta Gaji Dan Tunjangan Bupati Purbalingga Di Serahkan Kakang Mbekayu 2025
Satlantas Polres Kendal Imbau Wajib Pajak Manfaatkan Program Pemutihan Pajak Motor 2025
Tingkatkan Pemahaman Masyarakat, BI Tegal Gandeng Kodim Latih 240 Babinsa

Berita Terkait

Kamis, 29 Mei 2025 - 18:02 WIB

REI Jatim Keluhkan Program 3 Juta Rumah ke DPD RI: Narasi Rumah Gratis hingga Masalah Lahan Jadi Sorotan

Kamis, 29 Mei 2025 - 17:13 WIB

Indonesia: “Toko Kelontong” Global yang Masih Berkutat di Zona Nyaman, Alarm untuk yang Masih Tertidur

Selasa, 27 Mei 2025 - 07:22 WIB

DPU Brebes Sukses Tuntaskan 15,139 Km Perbaikan Jalan Program 100 Hari Bupati Paramitha

Selasa, 27 Mei 2025 - 07:10 WIB

Banjir Genangi Puluhan Sekolah di Brebes Ribuan Siswa Terpaksa Belajar Secara Daring

Minggu, 25 Mei 2025 - 08:29 WIB

Dua Jalan, Sama-Sama Rusak: Dilema Warga dan Pekerja PT. STJ di Desa Kubangsari Brebes

Berita Terbaru