lensabumi.com – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memberikan tanggapan penuh makna atas pernyataan resmi pemerintah terkait isu transfer data pribadi ke Amerika Serikat. Dalam situasi yang sempat menimbulkan kegaduhan informasi, Haidar Alwi menilai klarifikasi negara merupakan langkah yang patut diapresiasi. Namun, sebagai bentuk tanggung jawab intelektual kepada publik, ia juga menegaskan pentingnya membuka ruang pemahaman lebih luas mengenai istilah “berbasis platform” yang digunakan dalam penjelasan pemerintah. Menurutnya, rakyat berhak tahu secara jernih dan utuh makna dari kerja sama yang menyentuh dimensi kedaulatan digital bangsa.
Klarifikasi Pemerintah Layak Dihargai, Tapi Transparansi Harus Sejak Awal.
Pada 25 Juli 2025, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa pemerintah tidak menyerahkan data pribadi rakyat Indonesia kepada pemerintah Amerika Serikat. Yang terjadi, kata dia, adalah pengakuan terhadap AS sebagai negara dengan standar perlindungan data yang memadai, agar transfer data melalui platform digital seperti aplikasi dapat berlangsung tanpa hambatan hukum.
Penjelasan ini disampaikan sebagai respons terhadap dokumen resmi Gedung Putih AS yang menyebut bahwa Indonesia akan memberikan “kepastian mengenai kemampuan untuk memindahkan data pribadi” ke luar wilayahnya. Frasa inilah yang memantik kekhawatiran banyak pihak, termasuk publik, media, hingga pakar kebijakan.
Haidar Alwi memandang, penjelasan dari Mensesneg adalah bentuk tanggung jawab komunikasi publik yang tepat. “Namun, alangkah lebih ideal jika sejak awal pemerintah menyampaikan ini secara utuh kepada rakyat, bukan setelah muncul kehebohan dari luar negeri,” tegas Haidar Alwi.
Ia menekankan, bangsa yang dewasa tidak anti terhadap kerja sama internasional, tetapi harus tetap menjunjung tinggi prinsip kejelasan, partisipasi publik, dan perlindungan data. Rakyat punya hak untuk tahu, sejak awal, apa yang sedang dinegosiasikan atas nama mereka.
Transfer Data “Berbasis Platform” Perlu Dimaknai Bersama.
Kata kunci yang muncul dari klarifikasi pemerintah adalah istilah “berbasis platform.” Menurut Prasetyo Hadi, data yang ditransfer adalah data pengguna yang secara sukarela diunggah ke aplikasi milik perusahaan AS. Dengan kata lain, pemerintah tidak secara aktif menyerahkan data, melainkan memberikan kerangka hukum agar perusahaan digital AS tetap bisa mengakses data tersebut dengan jaminan perlindungan.
Namun bagi Haidar Alwi, istilah “berbasis platform” tidak cukup jelas jika tidak disertai penjelasan struktural dan batasan hukum yang rinci. Apakah ini berarti Indonesia mengakui semua jenis transfer data lintas batas sebagai sah jika terjadi melalui aplikasi tertentu? Siapa yang mengawasi dan menjamin bahwa data tersebut tidak akan diproses untuk kepentingan lain seperti iklan politik, manipulasi sosial, atau profiling ekonomi?
“Bukan hanya bentuk transfernya yang penting, tapi arsitektur regulasinya. Kita tidak bisa mengandalkan kepercayaan sepihak kepada perusahaan asing yang bisnis utamanya adalah monetisasi data,” ujar Haidar Alwi. Ia menambahkan bahwa rakyat harus didorong untuk melek digital dan memahami hak-haknya sebagai subjek data.
Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu menyusun pedoman teknis dan membuat daftar platform mana saja yang diperbolehkan mentransfer data ke luar negeri, disertai audit berkala oleh lembaga independen.
Waspadai Jalan Sunyi Penjajahan Digital Gaya Baru
Di tengah euforia kerja sama ekonomi dan penghapusan tarif impor AS hingga 99%, Haidar Alwi mengingatkan bahwa salah satu bentuk kolonialisme modern adalah kontrol terhadap data. Negara bisa kehilangan kedaulatannya bukan hanya karena militer atau kekayaan alam, tetapi karena data warganya dikuasai algoritma asing.
Transfer data lintas batas memang menjadi kebutuhan globalisasi digital, namun tetap harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian dan keberpihakan pada kepentingan nasional. “Jangan sampai atas nama efisiensi dan kerja sama dagang, kita melonggarkan pagar yang melindungi hak digital warga negara,” tegas Haidar Alwi.
Haidar Alwi menyarankan agar kesepakatan dengan AS dikaji kembali secara menyeluruh sebelum diratifikasi formal. Jika perlu, pemerintah mengeluarkan dokumen white paper untuk menjelaskan dampak hukum, teknis, dan strategis dari pengakuan terhadap yurisdiksi asing dalam perlindungan data.
“Jika tidak dijaga sejak dini, kita akan menciptakan ekosistem digital yang tidak berpihak pada rakyat, melainkan tunduk pada korporasi luar yang punya kepentingan besar atas data dan perilaku kita,” pungkas Haidar Alwi.