lensabumi.com — CEO PT Batavia International dan PT Carolina Prima Internasional, Edward Sitorus, memberikan catatan kritis terhadap arah kebijakan pemerintahan saat ini. Ia menilai bahwa sejumlah janji politik yang digembar-gemborkan belum sepenuhnya terwujud di lapangan, sementara ruang demokrasi justru semakin menyempit.
Dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (9/10), Pengusaha yang berkecimpung di bidang konstruksi dan pengadaan khususnya di proyek pemerintah ini menegaskan bahwa pemerintah perlu membuktikan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat, bukan sekadar menebar narasi populis.
“Program makan siang gratis dan janji-janji populis lain belum benar-benar dirasakan merata. Jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi simbol politik tanpa manfaat konkret bagi rakyat kecil,” ujarnya.
Soroti Disiplin Anggaran dan Koordinasi Pemerintah
Edward juga mengingatkan soal disiplin anggaran dan tata kelola fiskal negara. Ia menilai, kenaikan utang dan belanja pemerintah harus diikuti dengan transparansi yang kuat agar tidak menimbulkan beban baru bagi masyarakat.
“Setiap rupiah yang dibelanjakan harus punya arah dan dampak nyata. Transparansi fiskal bukan pilihan, tapi keharusan,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah. Menurutnya, banyak program yang berjalan sendiri-sendiri tanpa arah kebijakan nasional yang tegas.
“Visi pembangunan harus satu arah. Tanpa koordinasi yang kuat, kebijakan mudah tumpang tindih dan tidak efektif,” tambahnya.
Peringatkan soal Menyempitnya Ruang Demokrasi
Dalam bagian lain, Edward menilai ruang kebebasan berpendapat di Indonesia mulai menyempit. Kritik publik kerap dianggap ancaman, padahal menjadi bagian penting dari sistem demokrasi.
“Kritik itu vitamin bagi demokrasi, bukan racun. Pemerintah harus membuka ruang dialog, bukan menutupnya,” ujarnya menekankan.
Dorong Pemerintah Kembali pada Rasionalitas Publik
Edward menutup dengan seruan agar pemerintah menjaga keseimbangan antara kebijakan populis dan rasionalitas publik. Ia menilai, bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu mengelola kritik dan membangun partisipasi rakyat, bukan sekadar mencari tepuk tangan sesaat.
“Kebijakan publik harus berbasis data dan manfaat, bukan sekadar popularitas. Indonesia tidak boleh kehilangan rasionalitas di tengah hiruk-pikuk politik,” tutupnya.








